Portalsitubondo.com Jati banteng Senin, 14 Juli 2025 — Gelombang kritik dan sorotan tajam datang dari masyarakat Desa Kembangsari, Kecamatan Jatibanteng, Kabupaten Situbondo, terhadap Kepala Desa setempat. Sejumlah proyek infrastruktur desa, khususnya rehabilitasi jembatan bronjong dan rabat beton, dipertanyakan kualitasnya, transparansinya, hingga dugaan kuat adanya praktik manipulatif dalam pelaksanaannya. Masyarakat pun mendesak penegakan hukum yang tegas dan transparan dari Inspektorat Daerah maupun Aparat Penegak Hukum (APH).

Awal Mula: Masyarakat Tergerak, Pemerintah Dinilai Abai
Kekecewaan masyarakat mencuat ketika sejumlah warga, secara swadaya dan tanpa bantuan pemerintah desa, mengadakan kegiatan kerja bakti memperbaiki jalan desa. Fit Sanusi, tokoh masyarakat sekaligus penggerak kerja bakti, menyindir keras situasi tersebut. Dalam bahasa Madura, ia menyebut: “Masyarakat ngak’an masyarakat, tuan makan tuan,” yang berarti masyarakat yang harus berkorban sendiri, sementara pemerintah desa menikmati hasil pembangunan tanpa melibatkan rakyat.
Zai Adam, warga lainnya, mengungkapkan bahwa ia telah mengeluarkan biaya pribadi sebesar Rp5 juta untuk membeli dan memotong kayu sebagai bahan konstruksi. Upaya ini juga dibantu oleh Pak Rusdi dan dikerjakan oleh sekitar 90 warga Tampelan yang datang secara sukarela. Realitas ini menandakan bahwa partisipasi masyarakat sangat tinggi, namun minim dukungan dari pemerintah desa.
Salah satu Tokoh Masyarakat Turun Tangan: Sorotan terhadap Proyek Bronjong
Kritik tak hanya datang dari warga biasa. Taufik Hidayah, SH, seorang tokoh masyarakat dan praktisi hukum, secara terbuka menyampaikan kekhawatirannya terhadap dugaan penyimpangan dalam proyek rehabilitasi jembatan bronjong. Proyek senilai Rp173.700.000 yang dibiayai dari dana desa tersebut dinilai tidak sesuai spesifikasi teknis dan Rencana Anggaran Biaya (RAB).

Sejumlah kejanggalan ditemukan, antara lain:
Bronjong yang digunakan bukan hasil pembelian proyek, melainkan bantuan dari Dinas Pengairan sebanyak 200 unit.
Papan kayu yang dipasang tidak sesuai standar teknis, baik dari segi jenis kayu, ketebalan, maupun kekuatannya, yang diduga tidak mampu menopang beban jembatan sesuai fungsi idealnya.
Tidak ada pelibatan masyarakat setempat dalam pelaksanaan proyek, yang seharusnya menjadi bagian dari prinsip pembangunan partisipatif.
Indikasi kuat terjadi markup dan manipulasi anggaran, yang berpotensi menyebabkan kerugian negara dan kerusakan infrastruktur lebih cepat dari umur teknisnya.
Menurut standar teknis dan ketentuan seperti SNI T-02-2005 dan Peraturan Menteri PUPR No. 05/PRT/M/2009, pembangunan jembatan harus memenuhi syarat pembebanan, dimensi konstruksi, serta kekuatan material yang digunakan. Ketidaksesuaian ini berisiko menyebabkan kerusakan bronjong, penggerusan tanah, serta membahayakan pengguna jembatan.
Proyek Rabat Beton Rp184 Juta Baru 4 Bulan Sudah Rusak:
Kekesalan warga makin memuncak saat proyek rehabilitasi jalan rabat beton yang berada di jalur yang sama dengan jembatan, juga menuai masalah. Jalan tersebut baru rampung pada 13 Januari 2025, namun kini telah mengalami kerusakan parah: retakan memanjang, permukaan hancur di beberapa titik, hingga fungsi jalan yang terganggu.
Padahal proyek ini menyerap anggaran sebesar Rp184.135.000 dari Dana Desa Tahun Anggaran 2024. Fakta ini menimbulkan kecurigaan publik akan kualitas pekerjaan yang asal jadi dan berindikasi kuat adanya penyimpangan dana, mulai dari pengadaan material, pelaksanaan fisik, hingga pertanggungjawaban keuangan.
Desakan Warga: Usut Tuntas dan Hukum Tegas
Melihat berbagai kejanggalan ini, warga Desa Kembangsari menyerukan agar Inspektorat Daerah Situbondo dan APH segera turun melakukan penyelidikan menyeluruh dan transparan. Mereka menuntut keadilan ditegakkan, dana desa dipulihkan jika terjadi kerugian, dan pelaku yang terlibat diberi sanksi hukum.
Beberapa poin tuntutan masyarakat antara lain:
1. Audit menyeluruh terhadap dua proyek desa yang bermasalah, dengan pelibatan tim independen jika perlu.
2. Proses hukum yang transparan dan tidak pandang bulu, jika terbukti ada unsur korupsi.
3. Pengembalian kerugian negara, apabila hasil audit menunjukkan adanya penyelewengan anggaran.
4. Peningkatan sistem pengawasan anggaran desa, agar peran warga lebih besar dan pengelolaan keuangan lebih akuntabel.
5. Edukasi hukum untuk masyarakat, supaya warga semakin sadar pentingnya kontrol sosial terhadap dana desa.
Penutup: Warga Bergerak, Pemerintah Harus Tanggap.
Apa yang terjadi di Kembangsari menjadi cermin nyata bahwa masyarakat kini tak lagi diam melihat dugaan penyimpangan di tingkat desa. Mereka bergerak, bersuara, dan bertindak demi terciptanya keadilan sosial serta pembangunan yang benar-benar berpihak kepada rakyat.
Pemerintah Kabupaten Situbondo, Inspektorat, dan penegak hukum ditantang untuk menunjukkan komitmennya dalam memberantas penyimpangan anggaran desa. Jika tidak, bukan hanya infrastruktur yang hancur, tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan.
(Redaksi – Tim Investigasi Biro Siti Jenar Group Multimedia)