SITUBONDO,PortalSitubondo.com – Sebuah video yang memperlihatkan pembangunan tangkis laut atau bronjong di Desa Gelung, Kecamatan Panarukan, Kabupaten Situbondo, mendadak beredar di media sosial. Sorotan dalam video itu mengarah pada papan informasi proyek yang tertulis anggaran “Rp0” serta narasi penggunaan batu bekas, yang memicu pertanyaan dan kecurigaan sebagian warganet.
Namun di tengah riuhnya perbincangan di dunia maya, Kepala Desa Gelung, H. Hadi Baikuni, yang akrab disapa H. Koko, memilih tidak terpancing emosi. Ia justru memanggil Tim Pelaksana Kegiatan (TPK), kepala pekerja, dan sejumlah perwakilan masyarakat untuk duduk bersama, meluruskan semua informasi yang beredar, sekaligus membuka ruang dialog secara terbuka.
“Daripada berpolemik di media sosial, lebih baik kita duduk bersama, buka data, buka fakta, dan kita luruskan semuanya di sini,” ujar H. Koko. Selasa (2/12).

Ketua TPK Desa Gelung, Ustadz Amrawi, mengungkapkan bahwa papan informasi proyek yang tercantum nominal anggaran nol sudah di ganti dengan nominal proyek pengerjaan sebesar Rp35.900.000.
“Banner atau papan informasi sebenarnya sudah diganti dengan yang seharusnya sesuai dengan nilai pekerjaan,” singkat Amrawi.
Lebih jauh, H. Koko menjelaskan bahwa pembangunan tangkis laut di wilayah tersebut bukanlah proyek tiba-tiba, melainkan lahir dari dampak abrasi dan terjangan ombak besar pada musim gelombang tinggi tahun lalu.
Ombak kuat kala itu tidak hanya merusak tangkis laut lama, tetapi juga menghancurkan bangunan MCK yang berdiri tak jauh dari bibir pantai. Jika dibiarkan tanpa penanganan lanjutan, H. Koko khawatir abrasi akan semakin menggerus daratan dan mengancam musala serta permukiman warga terdekat.
“Bukan sekadar membangun bronjong, ini soal keselamatan lingkungan dan warga. Kalau dibiarkan, siapa yang dirugikan? Masyarakat sendiri,” jelasnya.
Keputusan untuk melakukan perbaikan, lanjutnya, merupakan hasil musyawarah desa yang dihadiri unsur pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan warga setempat.
Isu lain yang ramai dibicarakan adalah penggunaan batu bekas bronjong lama. Banyak yang menilai langkah itu sebagai bentuk penghematan yang dipertanyakan. Namun, H. Koko justru mengungkap alasan kemanusiaan dan keselamatan di balik keputusan tersebut.
Batu-batu bekas bronjong yang berserakan di sekitar pesisir telah ditumbuhi tiram atau tritip yang sangat tajam. Kondisi ini kerap melukai kaki para nelayan saat hendak berangkat melaut, terutama saat air laut surut.
“Warga sendiri yang mengusulkan agar batu itu dimanfaatkan kembali. Dari pada jadi bahaya, lebih baik kita tata dan kita gunakan lagi untuk tangkis laut,” tuturnya.
Bahkan sejak semula<span;> memang pembelian batu tidak dianggarkan, sementara anggaran untuk tanah urug dialihkan, untuk biaya penyewaan alat berat sebesar Rp19,8 juta guna membantu proses pengerjaan dan penataan material.
“Semua sudah dimusyawarahkan dan ada berita acaranya. Siapa pun yang ingin melihat, silakan datang ke kantor desa, atas permintaan warga batu memang menggunakan yang ada mengganggu bagi nelayan yang akan berangkat melaut,” ungkap H. Koko dengan tegas.
Di akhir pertemuan, H. Koko menyampaikan pesan yang menjadi poin penting dari seluruh polemik ini: pemerintah desa tidak antikritik. Bahkan, ia justru mendorong masyarakat untuk terus mengawasi dan memberikan masukan, selama dilakukan dengan cara yang benar dan bertujuan membangun.
“Kritikan itu penting. Kritik itu vitamin bagi kami. Tapi tolong, kritiklah untuk membangun, bukan untuk menjatuhkan. Kalau ada yang kurang pas, datanglah ke kantor desa, ke TPK, atau langsung ke saya,” ucapnya.
Ia juga menepis anggapan bahwa dirinya terlalu mengejar jabatan.“Saya tidak gila jabatan. Yang saya inginkan hanya satu: Desa Gelung lebih aman, lebih tertata, dan lebih baik dari sebelumnya,” tambahnya.
Terkait tinggi dan panjang bronjong yang dinilai belum maksimal, H. Koko menjelaskan bahwa pembangunan akan dilakukan secara bertahap, menyesuaikan dengan kemampuan keuangan desa. Sebab, anggaran desa tidak hanya difokuskan pada satu titik, melainkan harus dibagi untuk berbagai kebutuhan penting lainnya.
“Kalau kita punya anggaran besar, tentu langsung kita kerjakan semua. Tapi realitasnya tidak begitu. Ini semua butuh proses dan kebersamaan,” pungkasnya.
Di tengah derasnya arus informasi di media sosial, peristiwa ini menjadi pelajaran penting tentang arti klarifikasi, musyawarah, dan pentingnya menyampaikan kritik secara bertanggung jawab demi kemajuan bersama.













