SITUBONDO – Eks lokalisasi Gunung Sampan (GS) di Situbondo kembali jadi perbincangan. Sayangnya, bukan karena keberhasilan transformasi, tapi karena kemunculan kembali praktik-praktik lama yang disamarkan dalam kemasan baru. PSK yang kini beroperasi sebagai LC di tempat karaoke seolah memberi sinyal: kawasan ini belum benar-benar berubah, hanya berganti seragam.
Ini bukan sekadar soal pelanggaran hukum, tapi persoalan arah pembangunan yang setengah hati. Ketika revitalisasi hanya diwujudkan dengan cat tembok baru dan papan nama berganti, tanpa menyentuh akar masalah sosial, maka hasilnya adalah tipu diri kolektif. Kita membangun seolah-olah berubah, padahal isinya masih serupa, bahkan lebih licin bersembunyi.
Gunung Sampan bukan tidak punya harapan. Kita punya bukti: Burnik City. Kawasan yang dulu punya stigma sama, kini jadi ruang terbuka yang bersih, ramah UMKM, dan terbebas dari eksploitasi. Tapi perubahan itu lahir bukan dari basa-basi kebijakan. Ia tumbuh dari keberanian memutus rantai lama, dan kemauan melibatkan masyarakat secara nyata.
Revitalisasi harus dimulai dengan satu pertanyaan mendasar: apa sebenarnya yang ingin diselamatkan? Jika hanya mengejar potensi ekonomi dari karaoke dan hiburan malam, lalu membiarkan ruang gelap bersembunyi di balik lampu-lampu neon, maka kita sedang menggali lubang yang sama, hanya lebih dalam.
Masyarakat Situbondo, khususnya yang tinggal di sekitar GS, butuh ruang aman, bukan ruang semu. Butuh akses ekonomi baru, bukan jebakan lama yang dibungkus lebih rapi. Jika pemerintah serius, maka rancanglah kawasan ini sebagai pusat kreativitas lokal, bukan tempat kompromi moral. Bangunlah taman, wadah seni, bazar rakyat, dan fasilitas olahraga. Hentikan alibi “hiburan legal” yang sebenarnya hanya membuka peluang prostitusi terselubung.
Transformasi itu bukan tugas satu pihak. Tapi harus dimulai dari satu sikap: tegas pada nilai, jelas pada arah. Tanpa itu, Gunung Sampan hanya akan jadi simbol kegagalan, tempat yang selalu disebut dalam wacana, tapi tak pernah benar-benar disentuh dengan perubahan yang jujur.
Situbondo pantas punya cerita baru. Tapi cerita itu tak akan lahir dari niat yang kabur. Ia harus dibangun dengan keberanian, transparansi, dan kemauan mendengarkan suara masyarakat kecil yang selama ini paling terdampak.