Berita  

Banjir Bandang Akhir Tahun Ungkap Krisis Lingkungan di Jawa Timur, Aktivis Desak Tindakan Tegas

Portalsitubondo.com Probolinggo, Kamis 25 Desember 2025 —Serangkaian bencana alam yang terjadi menjelang akhir tahun 2025 kembali membuka fakta pahit tentang kondisi lingkungan hidup di Indonesia yang kian memprihatinkan. Banjir bandang dan tanah longsor yang sejak November 2025 melanda berbagai wilayah, mulai dari Sumatra Utara, Sumatra Barat, hingga Aceh, tidak hanya menimbulkan kerugian material, tetapi juga memutus akses ribuan warga terhadap pangan, air bersih, dan kebutuhan dasar lainnya.

Fenomena serupa juga terjadi di Pulau Jawa. Sejumlah daerah tercatat mengalami banjir bandang dengan intensitas cukup tinggi, di antaranya Kabupaten Bandung di Jawa Barat, Tegal dan Magelang di Jawa Tengah, serta beberapa wilayah di Jawa Timur seperti Kabupaten Probolinggo dan Situbondo. Di Probolinggo, banjir bandang melanda Kecamatan Tiris dan Dringu, sementara di Situbondo, kejadian serupa terjadi di sejumlah titik, termasuk Kecamatan Asembagus.

Banyak pihak menilai, bencana tersebut tidak dapat dipandang semata-mata sebagai akibat faktor alam, seperti curah hujan tinggi. Kerusakan lingkungan yang terjadi secara sistematis, terutama akibat alih fungsi lahan hutan, disebut sebagai penyebab utama meningkatnya frekuensi dan skala bencana hidrometeorologi tersebut.

Ketua Koalisi Masyarakat SAE PATENANG, Eko Febriyanto, menegaskan bahwa banjir bandang yang terjadi di Probolinggo dan Situbondo merupakan peringatan keras bagi seluruh pemangku kepentingan. Menurutnya, kerusakan kawasan hutan di lereng pegunungan dan dataran tinggi telah melemahkan fungsi ekologis alam sebagai penyangga kehidupan.

“Banjir bandang yang terjadi di Kecamatan Tiris Probolinggo dan Asembagus Situbondo adalah alarm bagi kita semua. Ini menunjukkan bahwa kelestarian lingkungan, khususnya hutan di wilayah lereng gunung, sudah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan,” ujar Eko Febriyanto, Rabu (24/12/2025).

Pria yang akrab disapa Eko Sitijenar tersebut mengungkapkan, selain pembalakan dan alih fungsi hutan, tekanan terhadap lingkungan juga datang dari aktivitas pertambangan serta proyek-proyek pembangunan berskala nasional yang berlangsung di wilayah Probolinggo dan Situbondo. Ia menilai, lemahnya pengawasan dan penegakan aturan lingkungan memperparah kondisi tersebut.

Baca juga
Sigap, Bhabinkamtibmas Polsek Prajekan Cek Rumah Warga Binaanya Korban Puting Beliung

“Kami tidak menolak pembangunan atau peningkatan infrastruktur. Namun pembangunan harus berjalan seiring dengan perlindungan lingkungan. Jika aspek kelestarian diabaikan, maka dampaknya akan kembali ke masyarakat dalam bentuk bencana,” tegasnya.

Eko juga menyoroti paradigma pembangunan yang terlalu menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Menurutnya, pola pembangunan seperti ini justru akan menciptakan kerugian yang jauh lebih besar di masa depan.

“Pembangunan yang mengorbankan lingkungan sama saja dengan menggadaikan masa depan generasi berikutnya. Pertanyaannya, apakah bencana yang kita saksikan hari ini benar-benar murni faktor alam, atau akibat dari kerusakan lingkungan yang kita biarkan terjadi,” ungkapnya.

Pandangan serupa disampaikan Zainal Arifin, aktivis lingkungan dari Ranger SAE PATENANG. Ia menyatakan bahwa banjir bandang di wilayah Tiris dan Dringu Probolinggo tidak dapat dilepaskan dari rusaknya kawasan hulu, khususnya di lereng Gunung Argopuro dan kaki Gunung Bromo.

“Curah hujan memang tinggi, tetapi faktor utamanya adalah kerusakan lingkungan di wilayah hulu. Dampaknya kini mulai terasa. Jika tidak segera ditangani, ancaman bencana yang lebih besar sangat mungkin terjadi,” jelas Zainal.

Ia menambahkan, material kayu, batu, dan lumpur yang terbawa arus banjir merupakan indikasi kuat menurunnya daya dukung kawasan hulu. Hilangnya tutupan hutan, maraknya aktivitas pertambangan, serta perubahan vegetasi alami menjadi tanaman cepat panen seperti sengon dan balsa dinilai memperburuk kondisi tanah dan mempercepat limpasan air.

“Tanaman cepat panen memiliki daya serap air yang rendah dan perakaran yang kurang kuat. Akibatnya, tanah menjadi labil dan mudah tergerus, sehingga risiko banjir bandang semakin besar,” tambahnya.

Zainal mendesak pemerintah daerah dan aparat penegak hukum agar bersikap tegas dan konsisten dalam menjaga kelestarian lingkungan. Ia menilai, tanpa keberanian dalam menindak pelanggaran lingkungan, bencana serupa akan terus berulang.

Baca juga
Dini Hari Mencekam di Besuki: Atap Asrama Putri Ponpes Ambruk, Satu Tewas dan Sebelas Luka

“Jika hari ini kita bersikap lemah, maka generasi mendatang tidak akan mewarisi keindahan alam Probolinggo dan Situbondo. Yang mereka terima hanyalah warisan bencana akibat kelalaian kita,” pungkasnya.

(Red/Tim)

error: Content is protected !!